Laman

Senin, 30 Mei 2011

Orang Yang Lupa Bergembira





Doa yang paling sering saya panjatkan adalah agar Tuhan tidak mencabut kegembiraan dalam hati saya. Karena betapa mudah saya untuk sedih, mengomel, dan uring-uringan terhadap keadaan. Keadaan itu bisa bernama apa saja, baik dalam kondisi nyaman apalgi dalam zona susah. Apakah zona susah itu? Ini juga pertanyaan jebakan, apalagi jika susah hanya disempitkan sebagai kemiskinan dan kebendaan.
Di masa kecil, ketika miskin benda itu benar-benar mencekik leher kami dan tetangga, mudah bagi kami untuk gembira bersama. Cukup dengan bulan purnama, kami langsung berkumpul, bernyanyi dan menari di tanah lapang. Malam boleh gelap, tapi dengan bulan, malam jadi sangat berarti.

Kota kami kini terlalu terang. Kedatangan bulan sering jadi tidak penting lagi. Terang benderang setiap kali, kita malah marah ketika listrik cuma sebentar saja mati. Jelas kegembiraan itu tetap ditepatnya, walau hidup kita berubah.
Apapun perubahan yang terjadi jika tidak mengajak kegembiraan turut serta adalah soal yang tidak saya ingini. Saya tidak ingin menjadi pribadi yang uring justru ketika diberi kemudahan  membeli rumah atau mobil misalnya. Karena mobil itu bisa menjadi biang waswas tanpa henti. Tergores sekuku saja akan menancap dalam hati. Begitu juga dengan semua jenis pertumbuhan yang melupakan kegembiraan, akan terus saya wapadai.
Ibaratnya pertama kali merenovasi rumah, yang berlangsung tidak cuma gairah merenovasi, tapi juga perselisihan pendapat, omelan kepada tukang, dan curiga kesana kemari. Saya kaget sendiri pada ironi itu. Rumah ini yang terbangun mestinya membuat gembira, tapi malah menimbulkan kekacuan. Sumber kekacuan segera saya telusuri. Ternyata sumbernya adalah karena sumber-sumber kegembiraan habis saya korupsi. Saya ingin sumber seluruh kegembiraan tertuju pada saya. Tapi karena konsentrasi saya hanya ke arah saya sendiri, saya jadi tidak peduli. Begitu juga ketika sedikit saja tukang terlambat saya mengomel. Saya lupa memberi ruang kepada tukang untuk gembira dengan pekerjaannya. Padahal sedikit malas apalah salahnya, sedikit keliru apalah bahayanya. Toh dalam kerja saya juga suka mencuri-curi kemalasan secukupnya.
Azas gembira itu bukan salah atau benar, melainkan apakah rumah itu telah menjadi ajang memberi manfaat bersama. Jadi dalam penyebab gembira itu terjadi kegembiraan yang sesunguhnya. Jadi jelas tidak perlu menunggu lama untuk gembira, karena sumbernya bukan pada keadaan tapi kemauan. Ini berlaku juga bagi yang sedang berpengharapan. Memang disebut harapan karen belum jadi kenyataan, tapi dalam harapan kita sudah diizinkan untuk gembira. Buktinya begitu banyak orang lupa gembira ketika harapannya jadi kenyataan. Karenanya gembira itu bukan soal kapan, tapi soal apakah kita akan membuat keputusan.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar